Aku Anak Pancingan

Namaku wuri. Aku tidak tahu kapan aku terlahir. Namun yang orang yang biasa aku panggil ibu, selalu merayakan kedatangannku di rumahnya setiap tanggal 11 Juli.

Aku mempunyai satu orang saudara. Namanya Yani. Ya, kami memang seperti semboyan pendidikan, Tutwuri Handayani. Aku dan Yani tidak lahir dari ibu yang sama. Karenanya pula kami tidak datang bersamaan di rumah ini. Yani datang duluan di rumah ini pada tanggal 15 September, tapi entah kapan tepatnya. Aku hanya tahu jika dia sudah ada di rumah itu, saat aku datang. Aku tidak tahu pekerjaan ayah dan ibuku, tapi Mbok Inem bilang Ayah dan Ibuku itu orang kantoran.

Mbok Inem selalu bilang kalau aku harus nurut sama Ayah dan Ibuku, karena sudah di angkat anak oleh mereka. Aku tidak tahu apa yang di maksud dengan anak angkat itu.

“Anak angkat itu apa, Mbok?” tanyaku.

“Anak angkat itu anak yang di ambil dari Rumah Sakit terus dianggap jadi anak sendiri.”

“Kenapa aku di ambil dari rumah sakit? Memangnya dulu aku sakit?” tanyaku bingung.


“Oh, dasar bocah gemblung. Simbok yang nglairin kamu itu kabur ninggalin kamu di rumah sakit. Nah, Nyonya sama Tuan itu kasihan sama kamu, makanya kamu di bawa pulang.” Jawab mbok Inem menerangkan.

“Apa dulu Yani juga datang dari rumah sakit mbok?”

Mbok Inem Cuma tersenyum,dan berkata, “Mengko nek wis gedhe, kowe lak yo, ngerti dhewe.”

Ah, aku tidak perduli apa arti anak angkat itu, yang penting aku senang di rumah Ayah dan Ibuku. Aku dan Yani masing-masing punya kamar sendiri. Berdampingan. Satu dinding. Karena itu ada satu pintu diantara kami, jadi kami mudah pindah-pindah kamar jika kami ingin.

Ayah dan Ibuku itu selalu memanjakan kami, semua kebutuhan kami mereka penuhi. Bahkan bila ada barang baru yang anak-anak kampung belum ada, kami pasti sudah memilikinya. Meskipun kami sering di ejek dengan anak pancingan, kami tak peduli.

“Alah, paling kamu srei sama aku, to!” Selalu begitu jawabku jika ada yang mengejek aku dan Yani, saat kami lewat. Pernah sekali aku bertanya kepada Simbok (panggilan untuk Mbok Inem kami) apa arti anak pancingan. Tanpa beban dan memikirkan perasaan kami, beliau menjawab

“Anak pancingan itu, anak yang diangkat jadi anak, biar yang ngangkat anak bisa punya anak sendiri.” Ah, mumet3saya dengar penjelasan Simbok. Wis, ben wae lah…4

Semua indah. Semua bahagia. Hingga….

Akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering pulang malam. Tidak bersamaan. Tapi kalau hari ini Ibu yang pulang malam, besok ayahlah yang pulang malam. Pernah pula sekali dua kali, aku melihat ayah pulang pada siang hari bersama seorang wanita. Tapi bukan Ibu. Saat melihat hal itu, Simbok akan buru-buru menarik kami keluar rumah dan membawa kami main di pasar. Makan bakso dan es teller sampai kekenyangan.

Ayah dan Ibu jadi sering bertengkar sekarang. Kalau suatu saat kami memergoki pertengkaran mereka, mereka akan segera membanting pintu di depan kami. Kami yang ketakutan, segera ngumpet di bawah selimut. Sampai pagi.

Pagi ini, kami di dudukkan di sebuah ruangan yang penuh dengan meja panjang dan banyak kursi disana. Ada beberapa meja yang terletak agak tinggi di bagian depan ruangan. Di bagian tengah meja itu tertulis “Hakim Ketua”. Seorang Ibu berbaju hitam dan berkaca mata melorot mengajukan pertanyaan kepada aku dan Yani. Dan kemudian Beliau memberikan penjelasan kepada panjang dan lebar yang sulit aku mengerti. Namun intinya,

“Jika ayah dan Ibumu berpisah, kamu mau ikut siapa. Ayah atau ibu?”

Kami benar-banar bingung, waktu itu. Tapi aku menjawab “Ibu” yang tidak lama juga di ikuti Yani dengan kata “Ibu”

Dan begitulah, 3 hari kemudian kami meninggalkan rumah itu dan 3 hari pula kami sudah tidak bertemu orang yang biasa kami panggil "Ayah".Simbok melepas kami dengan menangis. Beliau hanya mengelus kepala kami tanpa mengatakan apa-apa.

Kepergian kami dari rumah itu ternyata merupakan awal petaka kami. Kami tinggal di sebuah rumah yang cukup luas pula sekarang. Ada tiga banguna disana. Banguna pendopo, rumah utama serta dapur yang menempel di bagian sisi belakang rumah utama.

Halamannya yang luas ditumbuhi pohon sawo kecik dan beringin yang rindang. Beberapa pohon bunga di pojok halaman menambah keasrian rumah itu. Berbeda dengan yang dulu, sekarang kami menempati sebuah kamar kecil di pojok dapur. Hanya kami berdua yang tinggal di ruangan dapur itu. Karena para pembantu, yang biasa dipanggil abdi di sini pulang jika malam tiba. Hanya mbok Nah yang sudah sepuh yang tinggal di kamar belakang rumah utama yang nginap disini.

Desiran bambu yang tumbuh di halaman tetangga sering membuat kami ketakutan di malam hari. Masih lekat dalam ingatan kami dongeng Simbok tentang Kuntilanak dan Wewe gombel yang akan membawa kami lari jika kami tak segera beranjak tidur. Belum lagi gelotakan tikus dan kucing yang berkejaran, semakin mempererat pelukan kami berdua setiap malam.

Jika dulu pekerjaan kami main, sekarang sebaliknya, kami di haruskan menyapu halaman depan dan belakang setiap pagi dan sore. Kadang membuat tangan kami berdua sampai lecet, karena gesekan sapu lidi. Tak ada lagi waktu main. Selesai menyapu, kami akan membantu di dapur sampai waktu makan siang tiba. Jika dulu kami bisa duduk di meja makan, dan memakan apapun yang kami mau, sekarang kami harus menunggu hingga semua yang ada dirumah utama sudah selesai makan. Untuk menahan lapar, biasanya kami duduk di dingklik kecil sambil mengepit boneka beruang kami di antara dada dan perut kami.

Sekarang sudah tidak ada lagi Ibu, yang ada adalah ndoro ibu. Tidak ada lagi eyang, yang ada Ndoro Eyang. Ternyata Ibu yang mengambil kami dulu masih berdarah bangsawan. Mungkin itu sebabnya, nama depannya menggunakan nama Raden Ayu. Saat menikah dengan orang yang dulu aku panggil ayah, Ndoro Eyang tidak setuju karena Ayah tidak mempunyai trah bangsawan. Terlebih saat di ketahui bahwa Ayah tidak bisa memberikan keturunan, maka Ibu dipakasa bercerai oleh kedua orang tuanya itu. Paling tidak itulah yang aku dengar dari guncingan mbak Laras dan Mba Ratri, dua orang abdi disini yang bertugas mencucikan baju semua penghuni rumah utama.

Aku sedih, sejak kepindahan kami disini, Yani yang dulunya memang pendiam, kini semakin diam. Jika dulu masih ada satu dua patah kata yang ia ucapkan, kini semakin hilang. Jika aku tanya hanya air mata yang ia teteskan. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan, selain hanya memeluknya. Aku melihat tangan dan badan Yani yang makin kurus. Mboh Nah bilang itu karena batuk yang ia derita beberapa 3 bulan terkhir ini tak kunjung sembuh. Aku sedih. Meskipu bukan dari ibu yang sama, tapi kami telah melewati banyak hal bersama. Dan aku sungguh menyayanginya. Disaat memeluknya, terkadang aku merasa, bahwa sebentar lagi aku akan berpisah dengannya.

Dan firasatku terbukti adanya. Pagi itu kami sedang menyapu halaman, saat Ibu, eh, Ndoro Ibu, duduk di kursi depan sambil membaca Koran. Yani yang sedang menyapu perlahan datang menghampiri. Aku sudah menariknya untuk pergi, namun ia tak menggubrisnya, tertahan suaranya memanggil Ibu yang sedang membaca.

“I i bu..” aku lihat ibu hanya sedikit menoleh dan berkata tanpa mengalihkan pandangannya

“Hmm, ada apa?”

“Ya ya yani, kangen. Yani sakit, Bu. Kenapa ibu tidak pernah jenguk Yani di belakang?” tanya Yani memberanikan diri. Ibu sepertinya tidak menghiraukan itu. Ia malah menutup Koran dan menghabiskan kopi yang ada di atas meja. Tiba-tiba Yani menubruk Ibu. Ibu pun jatuh terduduk. Cangkir yang sedang ia pegang tumpah dan mengenai baju putih bersihnya.

Ibu pun marah dan berusaha melepaskan diri dari Yani.

“Apa-apaan kau ini! Lihat siapa dirimu! Anak buangan tak tahu terima kasih. Sudah di kasih hati masih minta ampela! Masih untung aku tidak kembalikan kamu ke rumahmu yang miskin itu.” Bentak Ibu kepada Yani. Yani masih bergelayut menangis di kaki Ibu sambil sesekali terbatuk-batuk

“Ibu…Ibu…Yani kangen, Ibu…”begitu ia memohon. Aku pun hanya bisa ikut menangis mendengar rengekan nya

Semua orang tergopoh berlari ke depan mendengar keributan itu. Beberapa orang abdi berusaha melepaskan Yani. Setelah terlepas dari Yani, nampak Ibu berjalan dengan gusar ke dalam rumah utama. Dan Yani pun segera di bopong ke belakang oleh Mbak Lasmi.

“Kalau sudah ndak mau ngopeni itu, mbok pulangin aja ke orang tuanya atau masukin aja ke Panti Asuhan. Kasihan anak sekecil itu. Semua demi gengsi.” Terdengar Mbak Lasmi menggerutu sambil memotong sayuran. Mereka juga biasa bantu di dapur setelah mencuci baju. Aku duduk di kamar menemani Yani yang sesenggukan.

“Lho, emangnya ndak boleh apa sama Ndoro?” tanya Mba Ratri.

“Sudah, sudah di suruh sama Ndoro, tapi Jeng Ayu (panggilan untuk Ibu di rumah) aja yang ga mau. Malu, apa kata orang katanya.”

“Lha kalo gini kan… “ pembicaraan mereka tiba-tiba putus. Terdengar langkah kai mendekat. Ternyata ada ndoro kakung. Beliau hanya melintas kepada Mbak adan Mba Ratri yang langsung menunduk, dan melanjutkan melangkah menuju ke kamar kami.

Di depan pintu beliau berhenti sejenak. Dan kemudian melangkah masuk, duduk di pinggir dipan6 kami. Yani menggeer duduknya, merapatkan bandannya kepadaku.

Tangan Ndoro telulur ke kepala Yani. Sambil mengelus kepala Yani perlahan, beliau berkat,

“Maafkan Ibumu yo, nduk? Ibumu akhir-akhir ini mamang capek dan banyak kerjaan, jadi sering marah-marah. Besok pagi, biar Mbok Nah antar kalian berdua ke rumah baru. Disana nanti kamu punya teman banyak. Ibumu lagi sibuk sekali sekarang, jadi ndak bisa nemenin kamu. Kamu disana dulu ya…” kami hanya mengangguk, karena tidak tahu harus berkata apa. Rumah baru? Banyak teman? Aku berharap semoga disana kami tidak perlu bersusah payah nyapu halaman lagi.

“Mbok Nah, nanti tolong bereskan baju-baju mereka.“ ujar Ndoro Kakung lagi. Mbok Nah yang ada di depan pintu mengangguk takzim.

“Nggih, Ndoro.”

Setelah kepergian Ndoro kakung, Yani bertanya padaku, “kita mau kemana ya, Wuri?”

“Aku yo ndak tahu, to Yan. Nanti kita tanya mbok Nah kalo kesini.”

“Aku takut Wuri, Ibu kok jadi galak ya, sama kita? Kita kan ndak pernah nakal ya, Ri?” Aku hanya mengangguk diam mendengar perkataan Yani. Ibu, ah, Ibu.

Badan Yani panas sekali malam itu. Aku bingung. Tapi masih ku ingat jika dulu Ibu suka mengompres kami dengan air dingin saat kami panas. Aku mencari kaos yang bersih dan kubahasi dengan air yang di dalam gentong. Aku tempelkan kain itu ke kening Yani. Yani menggigil sambil terus memanggil nama Ibu. Aku bingung. Tapi aku tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Akhirnya aku pergi ke kamar Mbok Nah. Aku lihat lampu kamar Mbok Nah masih menyala. Mungkin Mbok Nah belum tidur batinku.

Aku berusaha meraih jendela kamar itu untuk mengetuk. Namun ternyata masih kurang tinggi. Aku ambil sebatang kayu. Aku pukulkan kayu itu di jendela.

“Mbok, mbok…” panggilku. Tak lama, Mbok Nah membuka jendela dan menengok keluar.

“Ada apa?! Ketuk, ketuk jendela pakai kayu, nanti pecah, dimarahi Ndoro baru tahu rasa kamu!” ujar Mbok Nah agak jengkel.

“Yani, panas, Mbok, manggil manggil Ibu.” kataku. Tanpa menjawab, mbok Nah menutup kendela. Tak lama terdengar pintu belakng rumah utama terbuka. Mbok Nah bergegas ke dapur dan langsung menuju kamar kami. Ia menyentuh kening Yani.

“Ndak papa. Nanti aku beliin Brodexin. Sudah kamu tidur saja. Sudah malem ini.” Aku menurut. Meski tak seramah Simbok, tapi Mbok Nah sebetulnya baik. Hanya beliau tidak suka bercanda dan lebih banyak diam. Setelah menyelimuti kami, Mbok Nah kemudian pergi meninggalkan kami.

Badan Yani masih panas, aku merasakannya benar di kulitku. Merasa kurang nyaman, aku menggeser badanku keluar dari selimut. Dan aku biarkan selimut itu menutupi seluruh badannya. Dia sudah tidur sekarang. Sesekali. Mulutnya masih menginggau memanggil ibu. Kantuk mulai menyerangku, ….Hoahmmm…

Paginya aku terbangun. Aku langsung teringat panas Yani. Aku pegang badannya sudah dingin. Aku bersyukur. Segera aku bersiap turun dari dipan dan menuju sumur. Aku ingat pagi ini, mbok Nah akan mengantar kami ke rumah baru. Mendengar akan banyak teman sebaya disana saja aku sudah senang. Aku sudah tidak mau disini lagi. Ibu galak dan jahat. Aku tidak mau lihat Ibu lagi.

Selesai mandi aku segera ke kamar. Aku heran, melihat Yani yang masih tidur. Aku goncang, goncang badannya. Tapi Yani masih diam. “Yani, Yani, Yani, bangun, Yan!”

Aku paling benci kuburan. Karena aku takut orang mati, karena katanya orang yang mati itu bisa jadi hantu. Dan aku takut sama hantu. Tapi aku harus mengantar Yani, kata Mbak Lasmi. Jadi, aku berdiri di belakang Mba Lasmi, aku melihat orang-orang mulai menurunkan Yani ke dalam tanah. Aku takut membayangkan Yani akan sendirian di dalam tanah sana. Jadi, aku mulai menangis, dan memeluk erat Mbak Lasmi. Mba Ratri mengelus kepalaku. Aku lihat ibu disana, diam, tidak bereaksi apa. Tidak juga menangis. Apa Ibu tidak khawatir seperti aku? Aku membatin.

Setelah menutupi tanah kuburan Yani, Satu per satu orang mulai beranjak pergi.

“Ayo, Wuri kamu pulang.” Aku dengar Ibu memerintahku. Mbak Lasmi menarik pelan tanganku dan menggandengku tanganku. Tiba-tiba, aku punya ide. Aku hempaskan tangan Mba Lasmi dan berlari menjauhi orang-orang itu.

Aku tidak mau pulang. Aku tidak mau rumah baru. Aku mau hidup sendiri. Aku tidak percaya lagi dengan orang-orang itu. Aku tidak mau seperti Yani, yang harus masuk ke tanah untuk sekedar merindukan Ibu. Aku terus berlari. Samar aku dengar Ibu memanggilku. Tiba-tiba ku dengar derit suara rem mobil di samping kananku. Aku menoleh. Sebuah cahaya yang sangat terang menyilaukan aku. Orang-orang menjerit histeris.

Aku terbangun. Ah, kupikir aku sudah mati, batinku. Kepalaku sedikit berdenyut. Aku lihat Yani duduk disampingku. Manis sekali dia. Beberapa orang yang tak ku kenal juga duduk mengelilingiku. Yani memapahku bangun.

“Selamat datang di surga, Wuri. Sekarang tak akan ada lagi yang akan menyakiti kita. Hidup kita akan senang di sini. Ayo….”

“A, apa………….?”


Namaku Wuri. Aku tidak tahu umurku. Aku anak Pancingan, tapi itu dulu. Sekarang aku bukan anak apa dan siapa. Tak ada lagi balas budi, apalagi hutang budi. Hidupku bebas sekarang; sebebas hujan yang tak perlu meminta ijin bumi untuk mencurahkan airnya.






Note:


1. Mengko nek wis gedhe, kowe lak yo ngerti dhewe: Jika nanti sudah besar, kamu akan tahu sendiri.

2. Srei : iri

3. Mumet: pusing

4. Wis ben wae lah : ya sudah, biarkan saja

5. Ngopeni: memelihara, merawat

6. Dipan: tempat tidur yang terbuat dari kayu

7. Nduk : panggilan anak perempuan dalam bahasa jawa.














Komentar

Postingan Populer