Aku Tidak Gila
Oleh: Khansa Apriya
Seperti biasa, pagi
ini, kami berkumpul kembali.
“Sudah, kau tidak perlu
kawatir, aku yang akan mengurus pekrjaanmu
“Tapi…” aku menjawab
ragu.
"Kau perlu
istirahat,” kata Madam saujana lembut. “Aku yang akan mengrus Karmila. Kau
bilang dia ada masalah dengan belajarnya, meringkas materi? Tenang saja itu
keahlianku.”
“Aku punya banyak
target yang harus kuselesaikan. Cicilan rumah yang harus di bayar, hutang perusahaan,
sekolah anakku, polis asuransi dan banyak lagi. Berapa juta yang bisa kau
hasilkan dalam sebulan Bimo?” tanyaku lagi.
“Eh, kau jangan
meremehakan aku. Ingat aku ini negosiator yang handal. Sudah banyak tender yang
kau menangkan. Percayalah aku akan mengurus perusahaan,” jawab Bimo dengan
pasti.
“Nah, kau dengar itu?”
Kali ini Joe, si Rasta itu yang bicara, “Sudah, turuti saran kami. Kau pergi
saja bersamaku. Kita nikmati hari ini. Meluncur bersama ombak dan menikmati Bob
Marley di atas pasir yang hangat. Bagaimana?” tawarnya kepadaku sambil
memainkan rokok mild yang ditangannya.
“Joe benar, David, sayang.
Kau harus relaks, istirahat dari semua hal yang merisaukanmu. Aku tahu
kehilangan Ivy bukanlah suatu hal yang mudah; tapi kau punya kami, temana-temanmu.”
Aku menatap wajah Magie yang ayu. Ku lihat bayangannya di cermin tersenyum
kepadaku.
“Nah, Bimo akan
mengurus perusahaanmu, Madam Saujana akan menemani ibu dan anakmu. Dan aku, aku
mengurus rumah dan mungkin hidupmu nanti.” Aku mendengar nada rayuan dalam
kalimatnya.
“Pergilah bersama Joe
beberapa hari ini, David. Jangan kawatirkan apa pun di sini. Oke?” Madam Saujana
kali ini mencoba meyakinkan aku. Aku tersenyum.
“Baiklah, aku akan
berkemas,” jawabku. Baru saja aku hendak melangkah menuju ke kamarku, ketika
tiba-tiba aku mendengar sebuah ketukan di pintu depan.
“Permisi, Ibu, benarkah
ini rumah Ibu Maura?” suara seorang laki-laki terdengar disana. Hmm…mungkin ibu
yang membuka pintu.
“Ya, benar, mari
silahkan masuk,” jawab Ibu.
Aku segera kembali ke
kamar kerjaku. “Kalian harus segera sembunyi cepat!”
“Kenapa?” tanya Magie.
“Ada yang datang. Aku
tak ingin mereka melihat kalian.”
“Tapi pada akhirnya
mereka pasti akan mengenal kami, David,” protes Bimo padaku.
“Ya, tapi tidak
sekarang. Cepat sembunyi,” perintahku lagi.
“Hei, diam, diam. Kita
perlu tahu siapa mereka. David, coba perhatikan!” ucap Madam Saujana dengan
suara tertahan. Aku mendengar suara Ibu yang terisak. Suaranya bergetar.
Ah…Ibu.
“Begitulah, Pak,
semenjak Ibunya Mila pergi, anak saya berubah. Dia…Astagfirullah…” Ibu seperti
tak sanggup meneruskan kalimatnya. Aku hanya mendengar isakan tangisnya.
“Iya, Ibu, kami
mengerti. Kami akan berusaha semampu kami. Hmmm… kalau begitu, bolehkah kami
bertemu pak David sekarang?”
“Tentu, mari,” jawab
Ibu.
“Celaka. Mereka datang
mencarimu, David,” Madam Saujana terlihat panik.
“Apa mereka debt
kolektor?” Magie tak kalah panik.
“Aku tak tahu.” Aku
menjawab dengan panik juga. “Bagaimana ini?”
“Kau disini saja. Joe,
sembunyikan David.” Perintah Bimo. Dia memang paling tenang dan tetap bisa
berpikir jernih meski dalam krisis. Joe menarikku. Ia mendudukan aku di sebuah
kursi di belakang lemari buku. Pintu diketuk.
“David, nak….,” suara
Ibu terdengar memanggil.
“Ehmmm, maaf, Bu, tapi
David tidak disini. Dia baru saja pergi,” jawab Bimo.
“Duh, Gusti….!” Air mata
Ibu mengalir. Mila memeluk eyang putrinya dari belakang. Air matanya pun tak
kalah deras mengalir.
“Eh, maaf, Bapak…Bapak
siapa, ya?” tanya salah seorang dari keempat laki-laki itu.
“Oh, Aku Bimo.” Bimo
menyalami dan menjabat tangan mereka satu persatu dengan erat.
“Begini, Pak Bimo, ada
yang hendak kami tanyakan tentang Pak David. Maukah Bapak ikut kami?” tanya
orang itu lagi.
“Jika ada yang ingin
Bapak tanyakan, silahkan tanyakan. Saya harus ke kantor. Saya berjanji akan
mengurus pekerjaan David,” Bimo menjawab.
“Maaf, Pak, tapi Bapak
harus ikut kami sekarang.” Lelaki itu memberi kode kepada ketiga orang
temannya. Mereka serentak maju menangkapa Bimo dan berusaha menyeretnya keluar.
“Hei, apa yang kalian
lakukan?! Lepaskan aku, lepaskan! Bu, Ibu, tolong saya, Bu!” Bimo berusaha
melepaskan diri dari keempat laki-laki itu.
“Maafkan Ibu, nak. Ibu
hanya ingin kamu bisa kembali seperti dulu lagi!” Ibu mengiringi kepergian Bimo
dengan isakan. Tak terkecuali Karmila. Ia semakin erat memeluk Eyangnya.
Beberapa tetangga
terlihat menonton keributan di rumahku. Satu dua berbisik-bisik tidak
mengenakkan.
“Kasihan Bu Maura, ya.
Punya anak semata wayang aja, sekarang jadi kayak gitu.”
“Iya. Udah perusahaan
bangkrut, menantu pergi, eh, anak gila…Ck..ck…” ucap salah seorang dari mereka.
“aMak Romlah, Pak David
tu suka bicara sendiri. Kadang ia ngaku namanya Joe, lain kali Bimo; malahan
kadang ia pakai baju istrinya, dan ngaku namanya siapa tu, … Jana, Jana siapa
gitu…
“Masak sih?”
“Iya, mak Romlah
sendiri yang cerita.”
Dasar pembantu
penghianat runtukku. Aku tak tahan lagi. Keempat laki-laki itu melemparku ke
dalam mobil yang bertuliskan Rumah Sakit Jiwa, “Pangudi Roso”.
AKUUU TIDAAKKK
GILAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!
idenya oke mbak...keren. cuman menurut saya yang awam nih, terlalu kompleks, banyak tokohnya. sempat bingung. coba lebih dipadatkan lagi dan focus ke tokoh yang diangkat. oya banyak tuliosan atau kata yang belum sempurna penulisannya, kurang huruf. itu saja mbak...tetap semangat! *saya juga belum mahir buat FF mbak...
BalasHapusInspirasinya dari orang yang berkepribadian ganda lebih dari dua. makanya jadi banyak tokoh. Iya, mbak, terima kasih koreksinya. akan saya perhatikan lagi biar ga lompat-lompat he he he. Nuwun ya dah mampir
BalasHapus