Antara Aku, Tahu dan Dirimu
Oleh: Khansa Apriya
Mengapa Aku suka Tahu?
Aku suka tahu, sungguh aku suka, karena tahu itu empuk,
seempuk suaramu jika sedang bernyanyi, meski itu hanya sekelas kamar mandi.
“Dik, mbok ndak usah nyanyi-nyanyi to kalo lagi mandi…,”
tegurku suatu hari.
“Oalah , mas, mbok dukung istrimu ini to; aku kan udah ndak
lulus AFI, Indonesian Idol, mbok ya dukung aku sebagi finalis kamar mandi gitu….”
Hah, finalis kamar mandi? Sejak kapan ada finalis kamar mandi? Batinku langsung
deg-degan.
“Eh, apaan finalis kamar mandi?” tanyaku dengan nada sedikit
marah. Curiga.
“Ya, itu lomba nyanyi di kamar mandi. Penyelenggaranya aku,
jurinya aku dan pesertanya aku bersama sabun dan gayung yang ada di kamar mandi,”
jawab istriku santé.
Duh…aku garuk-garuk kepala mendengar istriku yang lucu dan pandai
ngeles ini. Tapi sekaligus lega, karena ternyata kontes kamar mandi itu cuma
khayalan saja. Khayalan yang sering membuatku
kaget sekaligus terkesan atas imajinasi istriku ini.
Aku sungguh suka tahu, karena tahu itu hanya terbuat dari
saripati kedelai dan di buat melaui proses yang tidak sebentar serta penuh
kerja keras. Selayak dirimu yang selalu berusaha keras memproses diri untuk
menjadi istri terbaik bagi suami.
Jika dulu kau hanya sanggup menggoreng tahu dan menjerang
air, maka kini kau sanggup mengolah aneka ragam makanan favoritku ini menjadi
beraneka ragam cemilan dan lauk. Mulai dari cemilan ala Indonesia, sampai negeri cina. Mulai bumbu ala merauke, sampai
bumbu ala pulau we.
Sungguh aku sangat suka tahu. Karena tahu adalah kisah
sebuah pengambilan sari pati. Seperti sari pati buku yang kau ceritakan padaku
selepas menghabiskan satu dua koleksi novel barumu.
Hingga, di suatu sore…
“Mbok sesekali novel mu itu di jadikan uang to, Dik,” aku
coba memberi usul padamu.
“Jadikan uang?!
Maksudnya aku suruh njual gitu?
Jadi buku bekas? Wee..bisa
pingsan aku denger harga tawarannya. Mas ini tahu ga si, separuh gajiku dulu
sudah hampir habis buat novel-novelku ini. Mask an juga…”
“Sstt..stop. dengerkan dulu mas mu ini. Mas itu ndak minta kamu njual, tapi kamu buku
itu kan bisa kamu sewakan. Nah, uang sewanya, nanti bisa kamu gunakan untuk
beli buku baru lagi.”
“Lha kalo nanti hilang piye? Aku jadi rugi to, Mas,” rengek
istriku dengan nada manja.
“Tenang nanti aku carikan informasi bagaimana mengelola
tempat penyewaan buku. Rumah kita yang deket sekolahan itu kan bisa di
manfaatkan. Halamannya bisa kita ubah jadi kafe kecil-kecilan. Nantinya, orang
bisa baca sambil jajan di situ. Enak to?” Aku lihat ada sinar sumringah di mata
istri tercintaku ini.
“Wah, iya, yo , mas. Pikiran jenengan itu memang kadang
ajaib. Ah, Om Felix aja pasti tepuk tangan buat jenengan.”
“Lho, sopo to Om felix kuwi? Kamu ini kok…”
“Itu, yang suka di tipi, Felix siauw.” O…. waduh, begini ni,
istriku kalo sudah seneng pasti mujinya setinggi gunung. Mosok aku di bandingke
sama Ustadz Felix, jelas ga ada apa-apanya.
…………………………………
Aku tersenyum membaca rentetan kalimat diatas layar komputerku
itu. Lucu. Lumayan ngilangin suntuk kerjaan. Tiba-tiba…
“Tok ,tok .” Pintu ruanganku di ketuk
“Ya,” masuk jawabku.
“Lho, mbak kenapa, lagi seneng
ya?” selidik Rieka si analis sambil masuk ruanganku, ”Oya ini laporan analisa minggu
ini. Bu Mira sudah nunggu lho, mbak. Jam 8 pagi besok kita jadi ekspor, so, dia
minta release produk sekarang,” ucap Rieka sambil menyerahkan setumpuk laporan.
“Oh, oke. Mana?” jawabku. “ Eh,
kamu suka baca cerpen ga? “
“Suka. Kenapa mbak?”
“Coba baca ini deh.” Aku menyingkir dari kursiku. Dan memberi ruang
untuk Rieka membaca. Aku melanjutkan memeriksa hasil analisa, sesekali aku melirik
wajah Rieka, ada senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Dah?” tanyaku saat ia mengangkat wajah.
“He emhh. Lucu. Suami mbak yang
bikin ya?”
“Iya, dia minta aku resign. Dan itu,
cara dia ngasi alternative usaha buatku.” Aku berkata datar.
“Hah? Apa mbak bisa?”
“Hemm dunno,” aku mengangkat bahu. “Nih. Done. Kasih deh ke
Mira.”
“Makasih mbak. Cerpennya oke.” Rika
membalik badan dan berjalan menuju ke pintu. Namun, ia berhenti sesaat dan
berbalik kearahku . h
“Mmm…, mbak…,” panggilnya ragu
“Ya?”
“Mungkin bulan depan mbak perlu
mencari analis baru untuk lab kita.”
“Lho emangnya kenapa?” tanyaku
kaget.
“Saya mau resign aja bulan depan.
Sekarang saya sudah dapat ide dan alasan untuk keluar dari kerjaan. “
Lho kok ………..aku melongo mendengar
kalimat Rika yang terakhir.
Komentar
Posting Komentar